JAKARTA, Bhayangkara101.co.id- Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Republik Indonesia bergerak cepat dalam menyusun ide dan gagasan upaya transformasi sistem kepolisian dan penegakan hukum masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan dialog dengan berbagai kalangan masyarakat, sehingga perubahan yang dilakukan sejalan dengan tuntutan masyarakat terhadap POLRI.
Selain itu, langkah ini merupakan inisiatif guna memunculkan partisipasi bermakna (meaningful participation) dalam setiap pembuatan kebijakan. Dengan semangat itu, Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Republik Indonesia menghimpun aspirasi dari berbagai Lembaga Toleransi Beragama pada Selasa (25/11) bertempat di Ruang Aspirasi Kementerian Sekretariat Negara.
Membuka audiensi, Yusril Ihza Mahendra, selaku Anggota Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Republik Indonesia, mengapresiasi setiap masukan dan aspirasi yang konstruktif bagi transformasi dan perubahan POLRI di masa kini dan masa depan. “Pada kesempatan pagi ini, kami siap menerima semua aspirasi yang ingin disampaikan, dan nantinya kami akan memberikan tanggapan sesuai dengan tugas kami” ujar Yusril.
Berlaku sebagai pembicara pertama, Jay Akhmad, Sekretaris Nasional Jaringan GUSDURian, menyampaikan bahwa banyak tantangan yang harus dihadapi mengenai kondisi masyarakat yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama.
“GUSDURian seringkali mendapatkan laporan mengenai munculnya aksi mayoritas-isme, yang turut menciptakan permasalahan pelarangan pembangunan rumah ibadah di berbagai wilayah di Indonesia,” ungkap Jay dalam pemaparannya.
Lebih lanjut, Jay menyebutkan bahwa kasus ini seringkali diperparah dengan ketidaksigapan aparat kepolisian dalam menangani praktik di lapangan, sehingga eskalasi masalah menjadi sulit untuk ditanggulangi.
“Kasus seperti ini masih sering terjadi dan membutuhkan respons yang tepat dari aparat kepolisian agar dapat ditangani secara adil dan sesuai aturan, namun Seringkali yang kami temui di lapangan adalah aparat lebih mengutamakan harmoni sosial dibandingkan penegakan konstitusi, sehingga hak masyarakat justru terabaikan. Seringkali para korban diminta untuk mengalah demi keputusan masyarakat mayoritas yang tidak setuju. Pendekatan seperti ini hanya mengutamakan harmoni sosial, tetapi mengabaikan hak kelompok yang seharusnya dilindungi,” ujar Jay menyampaikan pokok permasalahan.
Melanjutkan pemaparan Jay, Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet, Ketua Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB), menyebutkan bahwa inisiatif reformasi institusi Kepolisian Republik Indonesia ini patut diapresiasi dan dibutuhkan demi memperkuat identitas penegak hukum di Indonesia.
“Penegakan aturan di sistem hukum kita perlu diperkuat sehingga tidak ada celah bagi para oknum untuk “bermain”. Salah satunya adalah kewenangan polisi untuk menahan atau tidak menahan seseorang, yang sering kali bergantung pada alasan subjektif. Kondisi seperti ini membuka peluang bagi oknum nakal untuk “bermain”, karena adanya celah dalam aturan,” ujar Ida Pengelingsir dalam paparannya.
Ida turut menyoroti beberapa persoalan yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia, seperti anarkisme, kebebasan berpendapat, praktik korupsi, dan sistem peradilan serta penegakkan hukum. “Sebagai pemuka agama, saya berpesan bahwa kepolisian jangan kalah dengan anarkisme, apalagi anarkisme yang diakibatkan oleh kebebasan berpendapat yang kebablasan. Dikarenakan sistem hukum kita lemah, jadi masyarakat malas untuk melapor kepada kepolisian. Hal ini juga tidak lepas dari praktik suap menyuap yang terjadi di tubuh POLRI. Untuk itu, penting untuk membuat sebuah sistem yang memberikan ganjaran berat bagi yang menyuap maupun yang disuap,” ungkap Ida Penglingsir.
Kyai Taslim Syahlan, perwakilan FKUB, menyikapi situasi kebebasan beragama di Indonesia yang pada praktiknya banyak terjadi pelanggaran dan kekerasan atas nama agama.
“Kami mencatat banyak pengrusakan dan pelarangan pembangunan rumah ibadah serta intimidasi terhadap penganut keyakinan, yang hingga hari ini, dialog antara para pemuka agama dan keyakinan dengan kepolisian masih minim terjadi,” ucap Kyai Taslim.
Dari Setara Institute, Halili Hasan menyampaikan bahwa dalam satu dekade terakhir, peningkatan isu serius mengenai permasalahan toleransi keagamaan masih terus terjadi dan grafiknya cenderung menanjak. Ia juga menyatakan terjadinya kesewenang-wenangan masyarakat mayoritas terhadap kaum minoritas.
“Di level masyarakat sendiri terdapat persoalan kapasitas koersif, yaitu kecenderungan sekelompok masyarakat bertindak seolah-olah mereka memiliki kewenangan seperti negara. Dalam aksi-aksi ini, muncul pertanyaan apakah sebetulnya aparat penegak hukum hadir untuk menindak. Hal seperti ini kerap terjadi karena kelompok penentang selalu dibiarkan dan tidak pernah ditindak,” ungkap Halili dalam penjelasannya.
Ia juga menyebutkan bahwa kelompok-kelompok dimaksud melakukan pendekatan pada aparat kepolisian dan penegak hukum di daerah, yang membuat langkah penindakan menjadi lebih sulit. Halili turut memberikan poin-poin konstruktif guna perbaikan dan penguatan institusi POLRI ke depan.
“Pertama, penegakan hukum berkeadilan dan sejelas-jelasnya bagi masyarakat, terutama masyarakat yang menjadi korban. Kedua, revitalisasi penegakkan hukum di lapangan yang masih terjadi ketimpangan. Ketiga, penguatan Komisi Yudisial sebagai pendukung penguatan penegakan hukum di Indonesia, dan keempat, reformasi penegakkan hukum haruslah ditanggapi sebagai wujud langkah berkelanjutan, bukan berhenti di tempat.”
Samsul Maarif, Center for Religious & Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, menuturkan bahwa dialog dibutuhkan dalam penyelesaian kasus-kasus yang melibatkan umat beragama di Indonesia. Ia menyebut ada banyak kasus yang tidak selesai dan berlarut-larut dikarenakan kurangnya inisiatif kolaborasi dan dialog dihadirkan oleh aparat penegak hukum dan masyarakat.
“Apabila memungkinkan, adanya agenda khusus mengenai KBB dalam kerangka kerja Polri akan menjadi peluang besar bagi kami untuk berkolaborasi dan memberikan masukan yang konstruktif. Inti dari yang ingin kami sampaikan adalah pentingnya mendalami isu-isu yang kerap terjadi dan erat kaitannya dengan hak asasi manusia” ujar Samsul memberikan masukan dalam forum.
Menanggapi berbagai masukan yang dihadirkan dalam forum, Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa Komisi Percepatan Transformasi Kepolisian Republik Indonesia akan memandang secara proporsional isu-isu yang terjadi di masyarakat.
“Kita akan melihat persoalan yang terjadi antara satu kelompok dengan kelompok lainnya secara proporsional, sesuai fokus peristiwa yang dihadapi. Dalam menangani isu-isu seperti ini memang tidak mudah, terutama ketika berbicara mengenai pasal terkait hak beragama dan ketentuan lainnya. Namun, polisi sebagai institusi yang bertugas mengayomi masyarakat akan memberikan langkah yang tepat mulai dari penyelidikan dan tindakan lain yang memang dapat menyelesaikan persoalan ini” ungkap Yusril.
Badrodin Haiti, selaku Anggota Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Republik Indonesia, juga mendukung penyelesaian isu keagamaan di masyarakat melalui dialog, sehingga citra kepolisian sebagai pengayom yang humanis dapat tercermin di masyarakat.
“Perlu ada ruang dialog yang dapat mengarahkan polisi menggunakan pendekatan yang dapat diterima bersama agar tidak menimbulkan perpecahan. Dengan tujuan yang sama untuk menjaga harmonisasi, polisi juga membutuhkan kejelasan agar tidak berada pada posisi serba salah saat mengambil tindakan di lapangan,” jelas Badrodin Haiti dalam tanggapannya.
Mahfud MD, selaku Anggota Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Republik Indonesia, fokus pada penguatan SOP dan mekanisme penindakan yang diberikan pada anggota kepolisian sehingga penertiban yang dilakukan tidak tebang pilih.
“Polisi memang harus memiliki dasar yang jelas untuk menindak. Jika kekerasan muncul di tengah masyarakat, polisi bisa saja terpaksa melakukan penertiban dengan tindakan yang tegas sesuai SOP. Dalam situasi seperti itu, polisi wajib turun tangan dengan tetap berpedoman pada prosedur yang berlaku,” ucap Mahfud menanggapi masukan yang diberikan.
Jimly Asshiddiqie, Ketua Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Republik Indonesia, kembali mengapresiasi setiap masukan dan menegaskan kerja dari komisi yang memerlukan peran aktif masyarakat dalam memberikan masukan yang membangun bagi terwujudnya POLRI yang lebih baik.
“Terkait reformasi kepolisian, kita perlu fokus dan merumuskan arah kebijakan yang jelas. Dengan masa kerja tiga bulan, tahap pertama digunakan untuk menyerap aspirasi publik dengan semangat meaningful participation, tahap kedua menyusun kebijakan, dan tahap ketiga merumuskannya menjadi undang-undang. Karena itu, usulan harus konkret dan spesifik sesuai dengan keinginan masyarakat,” ungkap Jimly.
Ahmad Dofiri, selaku Anggota Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Republik Indonesia, mengakui adanya stigma negatif dari POLRI di masyarakat dan menggunakan itu sebagai bahan evaluasi dan perbaikan ke depan. Namun begitu, ia menyebutkan keberadaan POLRI masih dibutuhkan masyarakat sebagai penjamin rasa aman dan nyaman.
“Sering kali berkembang berbagai stigma negatif terkait institusi kepolisian. tentunya narasi ini sudah banyak disebarkan di berbagai media, namun di lapangan aparat kepolisian kerap menjadi garda terdepan dalam mengambil tindakan penegakan hukum. Konsekuensinya, segala dinamika dan respons publik kerap berfokus pada mereka, sehingga menuntut profesionalisme, ketepatan prosedur, serta sensitivitas yang tinggi dalam menjalankan tugas. Hal ini perlu menjadi perhatian bersama agar reformasi kepolisian dapat diarahkan secara konstruktif dan berkelanjutan,” ungkap Ahmad Dofiri menanggapi.
Audiensi ini menjadi wadah untuk menghimpun berbagai aspirasi dan memperluas keterlibatan publik, sebagai upaya memastikan bahwa reformasi Polri tidak hanya berfokus pada pembenahan internal, tetapi juga pada penguatan hubungan yang konstruktif antara masyarakat dan institusi kepolisian. Komisi Percepatan Reformasi Polri akan melanjutkan proses pengumpulan data, dialog terbuka, serta kajian komprehensif guna merumuskan rekomendasi akhir sebagai output yang akan dipertanggungjawabkan bukan hanya ke Presiden RI, namun juga ke masyarakat.
(MB101 – OTH-Humas Kemensetneg)














Comment