JAKARTA, Bhayangkara101.co.id- Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengadakan audiensi dengan asosiasi pers di Ruang Aspirasi Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg), pada Rabu (26/11/2025). Unsur komisi yang hadir dalam audiensi tersebut adalah Badrodin Haiti, Idham Azis, dan Ahmad Dofiri
Membuka kegiatan, Badrodin Haiti menekankan bahwa audiensi ini diharapkan bisa menampung rekomendasi terhadap reformasi Polri dengan pihak yang paling sering terlibat dengan Polri yakni jurnalis.
“Masukan ini sangat berarti karena teman-teman pers erat kaitannya dengan kepolisian. Silakan jika teman-teman ingin menyampaikan masukan hingga solusi,” ujar Badrodin Haiti membuka.
Rekomendasi pertama datang dari Komisi Hukum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aiman Witjaksono yang berharap kepolisian bisa berubah dari sisi struktur, kultur, dan tata kelola. Aiman melihat tidak hanya kepolisian yang harus berubah, namun juga sistem penegakan hukum.
“Polri yang menjadi penyidik utama tentu menjadi garda terdepan dari penegakan hukum negara kita. Kita tidak ingin negara punya tingkat ketidakpercayaan yang begitu besar karena penegakan hukum penuh rasa ketidakadilan,” ujar Aiman.
Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bayu Wardhana menilai saat ini beban polisi sudah terlalu banyak. Bayu menyebut Polri cukup fokus ke bidang keamanan. Bayu bahkan menyarankan ada Kementerian Keamanan untuk membawahi Polisi, selayaknya Tentara Nasional Indonesia (TNI) di bawah Kementerian Pertahanan.
Ketua Bidang Advokasi AJI Erick Tanjung menyoroti serangan fisik terhadap jurnalis, namun tidak ada proses hukum yang berjalan. “Perlu adanya penyelidikan di tingkat dasar kepolisian dan ada kurikulum etika kerja antara jurnalis dan kepolisian,” ucap Erick.
Sekretaris Jenderal Persatuan Penyiar Radio Seluruh Indonesia (Persiari) Risty Rustarto, turut menyoroti pendidikan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk Polri. Risty juga meminta ada perbaikan secara meritokrasi dalam perekrutan dan juga transparansi pengawasan.
Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) kemudian melaporkan riset yang mereka lakukan tahun lalu terkait serangan yang dialami media setelah memberitakan hal kritis. Menurut Ketua Umum AMSI, Wahyu Dhyatmika, dari kasus siber yang dialami 7 media yang melapor, 4 di antaranya menjadi korban serangan dunia siber dari kepolisian. Tidak hanya dari dunia siber, wartawan juga kerap merasa tidak aman dalam meliput aksi demonstrasi.
Badan Pertimbangan dan Pengawas Organisasi AMSI Wenseslaus Manggut menyebut pihaknya sudah menciptakan Komite Keselamatan Jurnalis. Hal ini dikarenakan konflik kerap terjadi di daerah yang memiliki program strategis nasional. Banyak polisi tidak paham laporan pers harus melalui pelaporan terlebih dahulu ke Dewan Pers.
“Ini perlu dihidupkan lagi, karena sering tidak efektif di daerah. Jika ada jurnalis yang terancam, kami pindahkan dulu ke Jakarta karena kami merasa polisi di Jakarta lebih paham hal tersebut,” ujar Wenseslaus.
Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Herik Kurniawan tidak menampik kemungkinan jurnalis melanggar peraturan. Kendati demikian, ia meminta peningkatan perlindungan hukum bagi jurnalis. Pasalnya, kekerasan bisa terjadi di tiga level yakni, perencanaan, lapangan, dan pasca produksi.
“Saya berharap ada perbaikan interaksi antara jurnalis dan kepolisian, karena dalam pelaksanaannya kami masih merasa belum pas meski sudah ada dialog beberapa kali,” ujar Herik.
Wakil Ketua IJTI Wahyu Triyogo menyebut hal yang sama. Menurutnya, proses penanganan kekerasan yang dilakukan polisi terhadap jurnalis cenderung lambat.
Selaku pendamping jurnalis, Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Mustafa Layong menyebut dua hal krusial yang perlu dipahami yakni jurnalis sebagai pelapor dan sebagai yang dilaporkan. Mustafa kemudian merekomendasikan adanya desk khusus pelaporan kasus kekerasan pers, agar polisi bisa fokus menangani kasus serupa.
Badrodin Haiti sepakat perlu ada pendidikan HAM bagi polisi, kekerasan yang kerap terjadi disebabkan kultur yang terbawa dari masa pendidikan hingga kedinasan.
Begitu juga dengan Ahmad Dofiri, yang sepakat terkait perlu adanya penguatan pengawasan dari Kompolnas. Di sisi lain, Dofiri meminta bantuan jurnalis untuk bangun partisipasi bermakna dengan menayangkan sisi humanis dari Polri.
“Profesionalismenya tetap ditampilkan, namun tetap humanis,” ungkap Dofiri.
(MB101 – MEL/KHA – Humas Kemensetneg)











Comment